Arif Sehari-harinya

Sunday, August 15, 2004

Cinta dan Lambang Keberartian

Bertanyalah kita. Hari ini. Sejenak saja. Kepada diri sendiri. Tentang sebuah lambang keberartian dan makna hidup yang sangat mendalam: kelayakan untuk dicintai. Maka, layakkah kita dicintai?

Kelayakan dicintai adalah definisi dari sebuah kapasitas diri. Kapasitas yang diukur dari sejauh mana kita memiliki harga. Dalam wujud amal nyata dan peran-peran yang berbukti. Bukan status, apalagi sekedar hiasan performa dan gincu-gincu kepalsuan.

Bila daya manfaat dan keberartian merupakan labuhan cinta, maka sumber dan mata air keberartian itu ada pada kekuatan kejujuran, dalam pengertiannya yang sangat luas. Sebabnya adalah, kejujuran itu yang akan memberi kita kekuatan untuk selalu meniti jalan hidup ini sesuai arah dan alurnya. Sebab di sanalah kekuatan untuk memberi manfaat itu menemukan mata airnya. Pada wilayah kebersamaan dengan orang lain, kejujuran adalah garansi yang menjamin tertunaikannya hak orang lain dari diri kita, dalam bentuk apa saja.

Tetapi karunia iman memberi kekuatan lain pada makna kelayakan itu. Di sini keberartian menjadi sempurna. Beriman, berdayaguna, taat, dan kemudian memberi manfaat untuk kehidupan sesama. Maka sebaik-baik orang mukmin adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. Tak ada yang bisa melakukan sesuatu yang sangat istimewa, melebihi apa yang bisa dilakukan oleh kekuatan iman.

Karenanya kelayakan dicintai pada dimensi yang paling mendalam adalah kemampuan seorang manusia untuk bisa mengerti apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang hamba yang diciptakan Allah di muka bumi ini. Yang kelak akan mati, lalu dimintai pertanggungjawaban. Maka ia akan memburu cinta-Nya, agar layak dicintai. Pada perburuan cinta itu lantas berhamburan amal-amal dan kebaikannya, untuk orang-orang yang ada di sekelilingnya. Maka profesi dan status tak kuasa membendung aliran kebaikan-kebaikan itu. Sebab profesi dan status itu hanya lorong-lorong tempat orang-orang yang layak dicintai itu mengalirkan arus kebaikannya.

Bertanyalah kita. Hari ini. Sejenak saja. Tentang hiruk pikuk pergulatan hidup yang kita jalani. Tentang rumah tangga yang berbilang tahun kita arungi. Di jenal-jenak lelah dan godaan bosan yang menghantui. Atau tentang kerja-kerja duniawi yang menguras akal budi. Disela oleh mimpi dan keinginan memiliki bertumpuk rezeki. Atau tentang perburuan jabatan yang berlumur ketidakadilan. Atau tentang belajar di meja-meja buku yang tak kunjung usai. Ditingkahi malas dan lambaian jalan menyimpang yang merajuk merayu. Adakah semua itu mengantarkan kita menjadi orang yang layak dicintai?

(Disadur dari Tarbawi, 5 Agustus 2004)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home